Saya dan Teknik Industri

Di sebuah kelas berisi mahasiswa tingkat satu, mata si dosen hilir mudik sibuk mencari mangsa berikutnya. ‘Mana nih.. mahasiswa yang akan saya tanya selanjutnya’ mungkin begitu batinnya. Dan, biji mata itu bertemu dengan biji mata saya.

Dem, sial.

# Ya, kamu Mbak. Kenapa pilih jurusan Teknik Industri?

# Hmm.. Karenaa.. Teknik Industri tidak hanya belajar dari segi teknis, namun juga belajar ilmu manajemen.

Lalu sang dosen diam. Memicing. Mengangguk-angguk, dan..

# Kalau gitu kamu pindah SBM aja sana!

Jeder. Saya menelan ludah. Kelas diam.

Saya tidak pernah lupa kejadian itu. Kejadian dimana pak dosen tak cukup puas dengan jawaban saya dan meminta saya minggat pindah jurusan ke SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen). Dan memang benar ternyata, TI tidak sekedar belajar teknis dan manajemen. Teknik Industri mengajarkan saya sebuah mindset berfikir terintegrasi. Melihat sesuatu sebagai sebuah sistem secara menyeluruh. Sehingga keputusan yang saya ambil untuk memberikan solusi, harus membuat sistem baik secara keseluran. Jangan sampai solusinya bikin sistem saya baik, tapi menyebabkan sistem tetangga jadi kacau. Nah kan, saya juga jadi belajar konsep win-win solution dari Teknik Industri.

Kalau lagi motret, Teknik Industri itu bagai lensa wide. Dipasang dengan bukaan kecil, ISO paling kecil, shutter lambat, serta menangkap secara panoramik. Pemandangan kota dari atas gedung jadi terlihat tajam, detil, dan yang lebih penting, banyak elemen yang bisa tertangkap. Memang tidak secanggih lensa tele, yang bisa zoom-in lebih dalam, yang gayanya lebih keren karena, kalau kata Ikram, panjangnya saja seperti botol bir. Tapi nggak masalah. Kalau ada cowo ganteng di bawah sana dan mau saya candid, saya tinggal ganti lensa wide saya dengan tele, saya tinggal ajak rekan saya yang lebih bisa zoom-in masalahnya lebih dalam. Tapi tetap saya yang pilih cowo mana yang mau saya zoom-in, saya yang pilih masalah mana yang mau saya perbaiki.

Pada kenyataanya saya menggunakan mindset Teknik Industri pada banyak hal dalam kehidupan saya. Saat saya mengatur investasi. Saat saya menciptakan pricing untuk produk saya. Saat saya menghitung diskon. Saat saya berusaha mengerti apa yang dimaui pasar. Saat saya berada di antara teman-teman. Saat saya berada dalam sebuah relationship. Saya sangat bersyukur pernah kuliah di Teknik Industri. Jadi, siapa yang bilang saya menyesal kuliah di TI?


Sop Kaki BCA

Saya suka. Saya suka. Hahahaha.

Walau namanya Sop Kaki BCA, saya tidak terlalu suka dengan kakinya. Saya suka dengan kuahnya, apalagi kalo dicemplung emping dan sambal. Setelah kepedesan, diminumin teh tawar panas, hahahaha. Besoknya dijamin pasti pedesnya sampai ke WC. Saya suka bertanya-tanya dalam hati, boleh nggak ya pesen kuahnya aja, sama tomat, sama emping, sama daun bawangnya, pokoknya minus daging deh. Hohoho.

Saya nggak terlalu suka isi daging-daging dalam baskom itu. Biasanya, kalau makan ke sana, saya suka pilih-pilih di baskom bagian daging sapi. Manaaaa yang paling banyak daging dan sedikit gajihnya. Ternyata hei ternyata, si mas ini punya satu baskom lagi yang tersembunyi. Isinya daging sapi semua. Jadi, saya tingal meminta, “Mas, daging sapi 3 potong!” Dan saya tidak perlu mengaduk-aduk baskom sapi lagi.

sop1

sop2


Pulang Mencontreng

Sekitar pukul sembilan. Saya, ditemani dua orang tua, melenggang menuju Balai Rakyat. Balai rakyat adalah sebutan bagi sebuah gedung serbaguna di kompleks perumahan saya. Di sana ada tiga Tempat Pemungutan Suara beroperasi hari ini. Sesampainya di sana, suasana tidak terlalu ramai. Mungkin karena masih pagi ya.

Lalu saya mendaftar dan melakukan proses pencontrengan. Lancar. Mulus.

Empat kertas suara sangat besar saya obrak-abrik dalam bilik kecil. Sebelah kanan saya mama. Sebelah kanan mama, papa. Mereka asyik kerjasama seperti mengerjakan ujian sekolah. Saya sibuk foto-foto. Sebelah kiri saya seorang bapak-bapak. Dia membawa dua anaknya yang masih kecil untuk menentukan suara. Ribut sekali. Saya mendengar suara Gerindra dan Hanura disebut-sebut. Ada juga ide anak untuk pilih foto yang ganteng. Papa keluar lebih dulu dari bilik. Mama panik, contekannya pergi. Akhirnya dia mencontek ke bilik sebelah kirinya.

Saya benar-benar menikmati setiap proses dari Pemilu ini. Lucu sekali.

Kertasnya sungguh beraneka warna

Kertasnya sungguh beraneka warna

Demokrasi dalam bilik

Demokrasi dalam bilik

Papa mama sebelum masuk bilik suara

Papa mama sebelum masuk bilik suara

Berbisik di balik bilik

Berbisik di balik bilik


Apakah Shanker Pandai Melihat Peluang?

Hmm, sebelumnya saya turut berduka cita atas meninggalnya artis legendaris horor Indonesia, Suzanna. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya, amin.

Hmm, setelah meninggalnya Suzanna, apakah tim Shanker mampu melihat peluang untuk film baru mereka lewat kejadian ini ya? Hehehe. Kalau dijadikan film horor, apa judul yang kira-kira menjual.. I wonder. Ada ide teman-teman?

đŸ™‚


Belajar Jadi Orang Tua

Entah kebetulan atau tidak. Akhir-akhir ini saya sedang banyak bersinggungan dengan isu-isu anak.

Let me name them all. Kriuk! sedang mengeluarkan isu childhood. Hal ini memaksa saya untuk tahu lebih banyak tentang anak-anak. Mulai dari baca majalah ini itu tentang anak-anak, hingga berkoman-komen di blog berbau anak. Sudut pandang yang disampaikan juga beragam: anak jalanan, pembenci anak kecil, krisis lagu anak, game console, kamera mainan, wah banyak lagi deh.

Lalu saya pergi ke bioskop, film yang lagi santer diputar pun tak jauh dari isu ini: Laskar Pelangi. Jangan komen dulu  yaa soal yang ini. Saya belum sempat nonton soalnya, hehe. Lalu saya sampai di rumah, saya nonton sinetron ramadhan Para Pencari Tuhan di SCTV, eh si Sheila lagi ditampar sama mamanya. Di rumah, si adik juga lagi ingin diperhatikan lebih sebagai seorang anak. Sampai pacar saya, lagi demen-demennya main Nintendo Game Boy yang baru dibelinya dari hasil perburuan keras.

Di sini masalahnya. Semakin banyak saya baca dan tahu tentang anak-anak, rasanya semakin ngeri saya jadi orangtua. Polah tingkah anak jaman sekarang sangat tidak bisa ditebak. Saya tidak bisa membayangkan anak SD sudah terlibat kasus seksual, atau usia SMP sudah kena minuman keras. Moreover, kejadian-kejadian seperti tadi tidak jauh dari tempat dimana sekarang saya duduk dan menulis. Saya jadi ngeriiii sekali punya anak. Padahal saya selalu gemas dengan anak kecil. Kata papa, ada sebuah hadist, bahwa seorang anak itu bisa membawa dua kemungkinan keadaan pada orangtuanya: dia bisa menjadi berkah yang mengantarkan ke Surga, atau jadi bencana yang mampu menghancurkan orangtuanya.

Isu anak-anak biasanya tidak jauh akarnya dari tak harmonisnya hubungan dengan orangtua. Kalau begini saya jadi bingung memosisikan diri. Mau jadi anak-anak, udah kelewat tua. Jadi orang tua, not yet married, apalagi punya anak. Yaa, paling tidak saya sudah pernah merasakan bagaimana rasanya jadi anak-anak.

Saat sedang waras, semua orang bisa melihat, saat di posisi seorang anak, adalah sesuatu hal yang wajar kalau anak-anak sering berbuat kesalahan. Siapa yang tak pernah ngedumel saat sedang diomeli mama waktu kecil dulu. Namun beranjak dewasa, kita jadi bisa melihat kalau diomeli adalah bentuk sayang orangtua. Tujuannya agar kita mengerti kalau itu salah, lalu kapok mengulangi. Hanya saja kita sering tak suka caranya. Maka dari kecil, saya sudah pintar membatin, “Nanti, kalau gue jadi orangtua, gue nggak mau pakai cara ini. Karena gue tahu rasanya nggak enak. Gue nggak mau anak gue ngerasain kaya gini.”

Saya sering melihat ketidakadilan di posisi seorang anak, khususnya di Indonesia. Silahkan lho kalau ada yang mau protes, tapi saya masih melihat banyak orang tua yang gila hormat. Mereka merasa tinggi dan tak pernah mau disalahkan. Yaa, mirip iklan rokok yang ada di televisi itulah. Jika seorang anak ingin mengutarakan pendapat, maka kacamata orangtua melihat sebagai sikap pembantahan dan durhaka. Jika anak salah, diperingati habis-habisan, pinta maaf pun dititah. Tapi giliran orangtua yang salah, seperti angin lalu saja, sepoi-sepoi lewat. Halo? Bukankah seorang anak juga pantas dimintai maafnya. Budaya ini, sadar nggak sadar terpelihara di Indonesia. Nggak usah jauh-jauh, lihat di tatar pendidikan saja. Pernah dengar, undang-undang ospek? Itu lhoo, yang bunyinya, (pasal 1) Senior selalu benar. Dan pasal 2-nya, jika senior salah, maka kembali ke pasal 1.

Berapa banyak orangtua di Indonesia yang sadar, saat begitu bayi yang mereka buat brojol dari perut, maka baru brojol juga tahta mereka sebagai orangtua. They have no experience being parents also, just like the baby has no experience being a child. Tahta orangtua yang sekonyong-konyong akan kita dapatkan nanti, tidak sepaket dengan kemampuan jadi orangtua. We need processes. Kita harus belajar. Si bayi brojol tadi, tentu akan dapat ilmu gimana jadi bayi yang appropriate. Belajar ngangkat kepala, merangkak, lari, sampe belajar ngitung integral, semua ada yang mengajarkan: orangtua, yang lebih tua. Orangtua? semoga nggak berhenti belajar sebatas ganti popok dan mengajarkan ilmu naik sepeda. Usia orangtua memang bukan lagi usia belajar, tapi itu bukan alasan untuk tetap memberikan the best performance parents. Di mata saya, orangtua yang gemilang adalah yang mampu bersikap open mind akan perubahan zaman. memberitahu tapi tidak menggurui. Mengobrol, bukan menugaskan. Showing, not telling.

Saat saya menulis ini, saya dalam keadaan berpengalaman sebagai seorang anak, belum berpengalaman sebagai seorang parent. I do have my own expectations when i become one. Semoga bisa jadi orang tua yang gemilang suatu hari nanti!

Anyway, terimakasih untuk semua orangtua di Indonesia yang telah berusaha keras mendidik anak-anak mereka.:)