About Finding Passion

Beberapa hari lalu dalam beberapa email yang keluar masuk di inbox, ada percakapan mengenai nemuin passion. Hasrat hidup.

Kalo dipikir, dulu-dulu waktu masih kecil ide “nemuin passion” itu rasanya nggak laku ya. Beda keadaannya sama dua tiga tahun belakangan dimana banyak pembicara yang memotivasi kita buat nemuin hasrat hidup. Ikutin apa kata hati. Dan ide menemukan passion ini buat anak generasi saya adalah proses yang sulit. Kenapa? Karena kita kebiasaan dituntut untuk mencapai “yang terbaik” dari kecil.

Contoh “yang terbaik” nih ya: masuklah kelas terbaik, sekolah unggulan, jadilah ranking 5 besar, lolos jurusan favorit, tembus universitas negeri terbaik, dll. “Yang terbaik” ini, selain diamini sama lingkungan, juga ada parameternya. Kita bisa dapat datanya, ada perbandingannya. Misalnya, ranking 1 itu jelas diantara 39 murid lain, kita paling unggul di total rata-rata ulangan, PR, dan THB. *THB tuh jaman kapan Ka =))* Begitu juga pas masuk SMA Unggulan, ada data yang menunjukkan bahwa intake siswa yang masuk rata-rata punya nilai tinggi, output-nya pun mampu diterima di universitas terbaik (yang juga menyaratkan nilai tinggi untuk intake mahasiswanya). Definisi “yang terbaik” ini jadi agak kusut pas udah beres kuliah dan siap masuk dunia kerja. Terus, “yang terbaik” perusahaan yang mana dan yang kayak apa? Kalau masih pakai acuan data dan angka, simpel aja, jawabannya perusahaan terbaik adalah yang bisa kasih gaji paling besar. Pertanyaannya, kalau gajinya gede tapi lingkungan kerjanya nggak enak gimana?

Cara bertahan di tempat kerja nggak enak walau gaji gede ini, nyambung sama didikan berikutnya yang bikin generasi kita susah nemuin hasrat hati: bahwa kita harus bisa beradaptasi sama proses menuju hal terbaik. Itu lho, attitude buat Love what you do. Pokoknya, apapun yang sudah kita pilih untuk lakukan wajib untuk ditekuni, dipelajari, dan kalo bisa maksimalkan kinerja di sana. Terdengar ada yang salah? Nggak sama sekali. Didikan love what you do ini bener banget kok. Kita emang harus bisa tanggung jawab, bahkan total di hal yang udah kita pilih sebelumnya dengan sepenuh hati. Di ulang ya, di hal yang udah kita pilih sebelumnya dengan sepenuh hati; alias kalo ada kalimat Do what you love sebelumnya. Coba kujejerin nih premisnya,

Set the best thing to do then love what you do

Set what you love to do then love what you do 

Apakah kesimpulan dua premis di atas adalah  the best thing to do sama dengan what you love to do?

Jeng.. jeng.. jeng.. jeng.. Karena sejak kecil “the best thing to do”-nya udah ada, udah tersedia dan tinggal pilih, kita nggak pernah pusing dan repot mendengarkan hati apa yang bener-bener kita suka. Akhirnya, the best thing to do itu yaudah aja dinobatin jadi what we love to do. Kita jadi nggak punya ketekunan untuk mendengarkan hati.

Baiklah, setelah membaca-baca buku-buku passion dan semedi mendengarkan kata hati, lalu keluarlah beberapa point hal yang kita suka. Terus pertanyaan berikutnya, hal manakah yang bakal kita pilih satu sepanjang hidup untuk ditekuni?

Nggak banyak dari kita yang punya keberanian untuk memilih satu hal yang bakal kita suka dan kita tekunin sepanjang hidup. Kenapa? Takut salah pilih. Takut kalo  ternyata nanti alternatif lainnya terbukti oleh orang lain bisa menghasilkan data angka yang lebih bagus (misalnya, gaji lebih besar). Hihihi, jadi inget postingan kemaren, kalo sebaiknya kita nggak usah selalu iri sama rumput tetangga.

Ketakutan memilih biasanya ditunjang juga dengan nggak biasa beda pendapat sama lingkungan. Karena mungkin banget hal yang kita suka ini bukan dianggap sebagai hal terbaik sama lingkungan. Takuttt bener rasanya kalo terbukti salah milih dan nyesel, ntar denger kalimat-kalimat senada “Tuh kannnn, nenek bilang apa coba!”

It is a hard process indeed. Nggak mudah. Ketakutan utama, tentu saja dianggap nggak sukses sama lingkungan sekitar (misal ya: Eh, kok si anu pendapatannya nggak gede padahal sekolahnya pinter, si anu kok kerjanya aneh bikin patung-patung gak jelas, si anu kok gini gitu, dll dll) Ekspektasi lingkungan mengenai “hal terbaik menurut mereka” akan terus menghantui. Dan itu wajar.

Satu cara paling awal menempuh pencarian passion menurutku adalah berdamai. Damai dulu sama diri sendiri, bahwa it is so okey to have our own definition about “the best things”. Bahwa berbeda dari lingkungan, adalah bukan hal yang dosa. Even kita belum tau apa yang terbaik buat kita (karena itu tadi, kita dari kecil memang sudah ditanamkan bahwa yang terbaik untuk kita itu adalah ekspektasi lingkungan, kita tidak terbiasa untuk memilih. Sulit mendengar kata hati, menganalisis diri, dll). Bahkan almarhum Steve Jobs mengakuinya kok di video wisudaannya stanford itu, “Just keep lookin” 🙂

Buat yang memilih jalan buat nemuin passion, ini ada artikel bagus, siapa tau belum pernah baca:  Cerita tentang si Ranking 23. 🙂
Nggak semua orang bisa melewati tahap berdamai ini. Nggak semua orang bisa memperjuangkan kebahagiaan sejatinya. Tapi, orang yang menyerah di proses ini dan nggak menemukan kebahagiaan sejatinya, belum tentu tidak bahagia. Aku punya teman yang kini kerja di bidang perminyakan walau suka fotografi, dia bahagia. Aku ketemu temenku yang kerja di sebuah kantor perbankan walau dia suka hal-hal berbau kesehatan, dia bahagia. Aku juga punya seorang teman, yang akhirnya bahkan nggak memenuhi ekspektasi ayah ibunya untuk kerja kantoran, ataupun menekuni usaha clothing sebagai kesukaannya, melainkan dia jadi ibu untuk anak cowonya, dia juga nggak kalah bahagia 🙂

Jadi menurutku menyelesaikan proses pencarian kebahagiaan sejati alias passion ini bener-bener pilihan. It is so worth to look for.  Kalo ketemu nikmatnya naujubile pastinya. Bisa mengerjakan passion dan hidup dari situ.  Tapi kalopun nggak ketemu, atau nggak mau ngelanjutin nyari, Tuhan selalu kasi alternatif lain yang bisa tetep bikin kita bahagia. Percayalah. Lagipula ya, udah nemu passion terus jaminan mutu bahagia terus selamanya gitu? Sama aja kok, orang yang berkarya sesuai passion-nya juga punya jenuh dalam bekerja. Punya bosen ngadepin hal yang mereka suka. Namanya juga roda, ada di atas ada di bawah. Biar tetep jalan, ya harus berputar.

Nggak dosa kalo nggak milih nemu passion. Asal total di pilihan kita, dan bisa bahagia di sana. It’s all our choice. Yang penting itu, berani milih! 😀


Untuk Bayu

Saya pulang ke rumah hari itu dan mendapati ruang makan ramai dengan ibu, adik-adik, bibi dan adik sepupu saya. Mereka sedang membicarakan NEM adik dan sepupu saya yang akan masuk SMA tahun ini.

Saya memiliki tiga orang adik. Adik perempuan sudah hampir menamatkan kuliah di PTS Bandung, adik laki-laki kelas 3 SMK di Jakarta, dan satu lagi adik laki-laki bungsu yang baru mau masuk SMA tahun ini. Bibi saya anak pertamanya sepantar adik kecilku, SMP kelas 3 dan akan masuk SMA tahun ini. “Waaah, ramai sekali. Pengumuman NEM ya?” kataku. Aku melihat sebuah map kuning. Kubuka, di dalamnya terdapat secarik kertas bertuliskan nama adikku, Bayu Tri Pamungkas, dinyatakan lulus dengan NEM 35.80. Adik sepupuku (anak Bibi) namanya Lia, NEM-nya lebih tinggi : 36.80. Luar biasa. Hebatnya anak zaman sekarang, batinku. Untuk 4 jumlah mata pelajaran yang diujiankan, NEM itu berarti nyaris semua bernilai 9. Saya ingat betul, dulu dari skala 60, nem saya hanya 42 koma sekian, yang artinya rata-rata nilai 7 koma tak sampai delapan. Jomplang betul kalau dibandingkan sama nilai adik-adikku ini. Tapi lumayan lhooo, nilai ini cukup untuk bekal saya masuk sekolah unggulan impian di Jakarta. Singkat cerita, malam itu kami semua bangga akan prestasi adik-adik.

Mereka berdua ingin mendapatkan SMA terbaik di Bandung. Adikku berasal dari SMP 2, SMP yang termasuk unggulan di Kota Bandung. Dia punya cita-cita meneruskan pendidikan via jalur sutera. Jalur sutera adalah istilah yang umum digunakan di Bandung.  Beberapa siswa yang sejak kecil berprestasi, melewati sekolah-sekolah unggulan negeri dan berujung di PTN Negeri. Orang-orang yang masuk jalur sutera ini biasanya saat kelulusan dan pindah sekolah rasanya seperti naik kelas saja, teman-teman mereka di SD – SMP – SMA – PTN tak jauh berbeda. Di Bandung, SD jalur sutera adalah SD Banjarsari dan SD Merdeka, Dilanjutkan SMP 2 dan 5, SMA 3 dan 5, lalu berujung di ITB atau UI.

Adik saya ingin masuk SMA 3 Bandung seperti suamiku, Kakaknya. Atau seperti kakak perempuannya yang dulu di SMA 5 Bandung. Inilah cerita tentang Bayu pergi ke SMA.

Hari itu, saya bersama adik perempuan saya datang ke SMA 3 untuk mencoba mendaftar. Saya membawa map berisikan fotokopi surat kelulusan dan NEM adik saya. Ternyata SMA 3 dan 5 tahun ini hanya menerima sedikit sekali mahasiswa dari jalur NEM murni. Mereka sudah melaksanakan Ujian Mandiri untuk siswa-siswa yang ingin masuk ke sana. Weh, ini kok udah kaya PTN saja ada Ujian Mandirinya, pikir saya dalam hati. Adik saya tempo hari memang cerita, kalau ada ujian mandiri yang bayarnya lebih mahal, jadi dia berniat ambil jalur standard saja. Dari ulik-ulik informasi akhirnya saya mengetahui kalau SMA 3 tahun ini hanya menerima 1 kelas (30 kursi) dan SMA 5 menerima 2 kelas (60 kursi). Kebetulan SMA 3 dan 5 ini berada dalam satu lingkungan yang sama. Sesampainya saya di sana, saya melihat pengumuman dimana terlihat status para pendaftar ke SMA 3. Saya terhenyak ternyata NEM adik saya tak ada apa-apanya. Orang yang nemnya 39 koma dan 38 koma itu buanyaaak sekali.

Di tengah keterheranan saya akan besarnya NEM-NEM anak zaman sekarang, ada seorang cowok sepantar adikku menghampiri. Dia salah satu calon pendaftar ke SMA 3, mungkin dikiranya aku salah satu pendaftar lalu dia menanyakan berapa NEM-ku.

Adik kecil : “Maaf, boleh tau berapa NEM-nya?”

Aku : “35.80” Jawabku penuh sipu, wihihi aku masih cocok lho jadi anak SMA.

Adik kecil : “NEM 35 KOMA MASIH NEKAD MAU MASUK SINI?” katanya setengah kaget

Aku : Diam sebentar. Geram. Arr. Ingin cekik anak ini rasanya. Tarik nafas. “Oh, saya sih (Dharma Wanita) Alumni sini. Ini adik saya yang mau masuk sini. ” Yang di dalam kurung tidak disuarakan.

Adik kecil : “Oh…. Maaf..” Diam sebentar dia. Lalu tanya lagi. “Memang adiknya dari SMP mana teh?”

Aku : Dari SMP 2.

Adik kecil : “Oh pantes..”

Aku : “Emang ade dari SMA mana?”

Adik kecil : “Dari SMP 2 juga teh. Duanya kebanyakan, jadi SMP 22.”

Aku : “Oh..” sambil melengos, gue berlalu meninggalkan anak ini.

Setelah mengobrol dengan adik kecil ini saya makin terpana akan hebatnya otak anak-anak zaman sekarang. Ternyata nilai adikku yang sudah hampir rata-rata sembilan itu, tidak ada apa-apanya sama sekali. Adik kecil tadi NEM-nya 37 koma sekian pun masih ketar-ketir keterima dimana. Lihatlah hasil penerimaan mahasiswa baru SMA di Bandung tahun ini. Angka passing grade artinya, NEM terendah yang diterima di SMA tersebut. Pupus harapan adik saya untuk masuk SMA 3.

Perhatikan sebaran angka NEM di atas. Tidak ada perbedaan mencolok antara SMA unggulan (Cluster I) dan Clustuer di bawahnya. Semua hampir rata di atas rata-rata nilai sembilan. Lalu apa dong manfaatnya dibuat penggolongan cluster? Apa dong manfaatnya dibuat ujian bersama?

Yang paling membuat saya sedih tak hanya karena pupusnya harapan adik saya untuk masuk ke sekolah impiannya, melainkan  obrolan para orang tua yang menggerutu bahwa semua ini diakibatkan karena kebocoran soal yang nggak kira-kira. Deg. Kebocoran soal? Apalagi ini?

Adikku : “Da Bayu mah kalo mau minta contekan tinggal minta aja ke temen, mbak Ika. Pasti dikasih”

Aku : *melotot*

Mama : “Kenapa nggak atuh?”

Bayu : “BUAT APA ATUH MAM SEKOLAH CAPE-CAPE 3 TAHUN KALO UJIANNYA NYONTEK. NGGAK USAH ADA UJIAN AJA SEKALIAN. BAYU MAH MENDING NILAINYA KECIL TAPI MURNI HASIL SENDIRI.” Adikku ini emang agak galak gitu. Tapi sesungguhnya hatinya berbulu domba.

Aku : Kaget. Mewek. Bangga. Jadi satu semua.

Bener sih, kalau udah kejadiannya  semua orang dapat bocoran kayak gini, ya buat apa atuh ada ujian. Miris waktu tahu bahwa ibu-ibu yang daftar ke sekolah Cluster II marah-marah, karena ada anak nemnya 39 koma yang daftar ke sana. “Punya NEM besar harusnya sekalian aja daftar Cluster I. Kalau daftar Cluster 2 nanti makin menyulitkan NEM yang lebih rendah, karena akan terbuang ke SMA lain yang Clusternya lebih kecil”, begitu gerutunya.  Setelah ditanya ke yang bersangkutan, memang sehari-hari siswa ber NEM 39 ini biasa-biasa saja prestasinya. Oleh karena itu niat untuk daftar SMA Cluster I juga tak ada, takut kalah bersaing. Takut tak bisa mengikuti. Ada lagi orang tua yang mengaku waktu anak ujian dia stress karena khawatir anaknya tidak lulus, tapi kaget setengah mati nggak percaya waktu pengumuman kelulusan anaknya lulus dengan NEM 38 koma. Miris rasanya denger cerita kayak gini.

Saya jadi mengerti mengapa SMA 3 dan 5 mengadakan tes masuk sendiri berlabelkan SBI (Sekolah Bertaraf International). Di mata saya, tes Ujian Mandiri SMA ini adalah sistem antisipasi dari semua hal di atas. Mereka tak mau kompromi dengan kualitas intake siswa yang masuk, sehingga mereka membuat sistem penyaringan sendiri untuk mendapat intake yang memang dianggap qualified. Tentu saja guru-guru SMA Unggulan akan sebal karena kesulitan mengajar jika mereka mendapat intake palsu dari sistem NEM murni saja.

Sediiiiih sekali rasanya. Seburuk inikah potret pendidikan di Indonesia? Sebelumnya saya sudah kenyang dengan berita ibu Siami.  Dan sekarang saya melihat dan merasakan sendiri di depan mata saya. Bahwa karena parameter kelulusan dan kecerdasan anak dilihat dari satu nilai di ujian akhir, lalu semua orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Lalu apa? Nilai yang tinggipun saat ini jadi biasa. Tak ada artinya. Untuk apa nilai tinggi namun akhlaknya nggak ada. Di Malaysia, tetangga abadi kita yang kita cintai itu, di sana sudah tak ada mekanisme “tidak naik kelas” atau “tidak lulus”. Semua orang naik kelas, semua orang lulus dengan catatan si A punya kelebihan di lalala dan kekurangan di lalalala, dan seterusnya. Lha ya kalau mau menyeragamkan otak manusia ya susah dong, pada dasarnya kita sudah dilahirkan berbeda. Saya mungkin lebih suka belajar marketing. Suami saya suka memotret. Adik saya suka latihan bola. Lalu apa semua harus punya NEM 39 koma? 😐

Kalau sudah berhasil menyeragamkan otak seperti tahun ini, lalu mau apa?

Saya pun pernah mengalami ujian-ujian sekolah. Saya bukan orang yang suci dari aktivitas mencontek. Buat saya mencontek itu manusiawi kok, tapi kalau diamini berjamaah oleh satu sistem masyarakat,..

haduh..

Saya sadar saya bukan pengambil keputusan di bidang pendidikan di Indonesia. Saya tak berdaya apapun untuk merubah sistem yang dimata saya mistis luar biasa ini. Saya hanya punya @akademiberbagi yang sedang saya coba jalankan di kota Bandung. Saya ingin mengembalikan kembali makna belajar, lewat setiap kelas di Akademi Berbagi, lewat setiap semangat para guru yang rela membagi ilmunya gratis, lewat setiap siswa luar biasa yang melangkahkan kaki dan datang untuk belajar, lewat setiap para pemurah yang meminjamkan ruangannya untuk dijadikan kelas, lewat setiap livetweet yang tersebar.

Belajar nggak harus di bangku sekolah kok. Belajar kan hak semua orang. Asal punya kemauan, pasti selalu ada kesempatan.

Oh ya, kembali ke Bayu. Malam itu setelah hari pendaftaran SMA kita cuma bisa pasrah Bayu terlempar ke SMA mana. Sudah tak apa tak masuk SMA impian, kita tetap pergi menikmati malam Minggu di jalan Dago, merayakan 35.80 yang dek Bayu dapat dengan murni dan penuh kebanggaan. Knowledge’s indeed a power, but character is more.

:”)


Program Mencari Teman Belanja

Sweet escape. Saya sedang berencana untuk lebih sering melakukan ini. Benar-benar pergi dari hingar bingar aktivitas, beberapa jam saja, lalu kembali. Demi mental yang lebih sehat!

Tujuan hari ini, Waduk Cirata.

Rombongan kali ini penuh wawasan nusantara: Jawa, Sunda, Bali, Batak jadi satu. Ini dia salah satu cerita yg bikin ketawa di perjalanan: tentang si X, pria lajang asal Surabaya yang sedang S2 di Bandung.

X sering pulang ke Surabaya. Dia juga sering belanja bulanan di sana bersama ibunya. Si ibu heran setengah mati, “Lha memang sampo sabun nggak ada yang jual po di Bandung?”. Dengan lantang X menjawab, “Yo karo sssooopo?!”

:))

Sweet escape.


Selalu Ada Cara

Iyah, saya barusan ditabrak.

Sedang mengendarai mobil orang lagi.

Saya sedang dalam keadaan belok, pelan, dan tiba-tiba ada mobil  Kijang yang menyerempet. Tak hanya itu, mobilnya laju plus menyeret mobil saya ke depan dan akhirnya membuat mobil yang saya kendarai menabrak lagi mobil di depannya yang sedang parkir. Si Kijang yang menyerempet dan menyeret sih cuma baret. Mobil yang saya kendarai ini, rusak parah. Saya nggak mau tampilkan pic-nya ah. Masih serem lihatnya.

Si bapak yang saya tabrak, akibat mobil saya yang terseret, baik sekali. Namanya Pak Soleh. Dia bilang, “Gampang lah ini, namanya juga kecelakaan. Mobilnya juga asuransi kantor, paling nanti bayar polisnya aja”. Saya bernafas lega, selain karena sudah terbayang bayarnya nggak mahal, juga karena senyum bapak Pak Soleh yang sungguh santai dan tidak menampakkan muka marah sama sekali. Ada lagi mobil yang terparkir di depan mobil Pak Soleh, penyok sedikiiit, mungkin butuh sedikit Ketok Magic.

Sekarang urusan sama mas Kijang. Saya bahkan lupa tanya namanya, tapi dia bertindak sebagai supir, bukan yang punya mobil. Ngobrol tentang kejadiannya begini begitu, ternyata dia tak mau mengaku salah dan menyeret, malah mau bawa ke Polisi. Saya jadi pusing. Yasudah, saya minta nomor yang punya mobil, lalu memutuskan untuk menelepon dan janjian. Namanya Pak Adi. Suaranya ramah sekali berbeda sama mas supir. Ngobrol sana sini, akhirnya kita memutuskan untuk bertemu sore ini. Telepon ditutup.

Buat yang belum pernah dalam kecelakaan, saya beritahu sesuatu, perasaan terkejutnya sungguh luar biasa. Terkejut dan takut, jadi susah dibedakan. Saya sampai sekarang masih gemetar nih. Tadi waktu dalam mobil rasanya mau pakai jurus Nadya saja, pura-pura mati. Tapi tentu nanti masalahnya ndak jadi selesai juga, hehehe. Saya mengobrol dengan orang-orang dan pikir-pikir lagi. Apa sih yang saya takutkan.

Saya takut, ganti bengkelnya besar? Ah, saya memang dalam keadaan tight budget sekarang, tapi rasanya masih ada cara yang terpikir untuk cari uang. Dibandingkan sama mas supir Kijang.

Saya jadi membayangkan, mas supir Kijang yang statusnya hanya supir. Gajinya, mungkin tak jauh dengan pegawai di toko saya. Jika diminta menggantikan mobil Vios yang segitu penyoknya, mungkin lebih pusing dari saya. Lebih kepikiran, lebih beban, lebih takut dari saya sekarang. Saya jadi mengerti kenapa dia sampai sebut-sebut kata Polisi dan tak mengaku, mungkin dia takutnya juga setengah mati. Dan Polisi jadi kata sakti, saat saya mengaku saya tak mengantongi SIM (ups, hehe).

Selalu ada cara untuk bersyukur. Peluang saya bisa cari uang cepat tentu lebih besar ketimbang mas supir Kijang. Saya tak punya tanggungan pula. Kalaulah nanti Pak Adi, majikannya, tak mau bantu saya urunan untuk mengganti semua penyok-penyok ini, mungkin memang ini ajang saya untuk beramal. Walaupun tentu besar harapan saya untuk Pak Adi ini baik hati. Hehe.

Satu lagi dong ya, selalu ada cara, untuk beramal.

Eh, doakan saya ya!


Saya dan Teknik Industri

Di sebuah kelas berisi mahasiswa tingkat satu, mata si dosen hilir mudik sibuk mencari mangsa berikutnya. ‘Mana nih.. mahasiswa yang akan saya tanya selanjutnya’ mungkin begitu batinnya. Dan, biji mata itu bertemu dengan biji mata saya.

Dem, sial.

# Ya, kamu Mbak. Kenapa pilih jurusan Teknik Industri?

# Hmm.. Karenaa.. Teknik Industri tidak hanya belajar dari segi teknis, namun juga belajar ilmu manajemen.

Lalu sang dosen diam. Memicing. Mengangguk-angguk, dan..

# Kalau gitu kamu pindah SBM aja sana!

Jeder. Saya menelan ludah. Kelas diam.

Saya tidak pernah lupa kejadian itu. Kejadian dimana pak dosen tak cukup puas dengan jawaban saya dan meminta saya minggat pindah jurusan ke SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen). Dan memang benar ternyata, TI tidak sekedar belajar teknis dan manajemen. Teknik Industri mengajarkan saya sebuah mindset berfikir terintegrasi. Melihat sesuatu sebagai sebuah sistem secara menyeluruh. Sehingga keputusan yang saya ambil untuk memberikan solusi, harus membuat sistem baik secara keseluran. Jangan sampai solusinya bikin sistem saya baik, tapi menyebabkan sistem tetangga jadi kacau. Nah kan, saya juga jadi belajar konsep win-win solution dari Teknik Industri.

Kalau lagi motret, Teknik Industri itu bagai lensa wide. Dipasang dengan bukaan kecil, ISO paling kecil, shutter lambat, serta menangkap secara panoramik. Pemandangan kota dari atas gedung jadi terlihat tajam, detil, dan yang lebih penting, banyak elemen yang bisa tertangkap. Memang tidak secanggih lensa tele, yang bisa zoom-in lebih dalam, yang gayanya lebih keren karena, kalau kata Ikram, panjangnya saja seperti botol bir. Tapi nggak masalah. Kalau ada cowo ganteng di bawah sana dan mau saya candid, saya tinggal ganti lensa wide saya dengan tele, saya tinggal ajak rekan saya yang lebih bisa zoom-in masalahnya lebih dalam. Tapi tetap saya yang pilih cowo mana yang mau saya zoom-in, saya yang pilih masalah mana yang mau saya perbaiki.

Pada kenyataanya saya menggunakan mindset Teknik Industri pada banyak hal dalam kehidupan saya. Saat saya mengatur investasi. Saat saya menciptakan pricing untuk produk saya. Saat saya menghitung diskon. Saat saya berusaha mengerti apa yang dimaui pasar. Saat saya berada di antara teman-teman. Saat saya berada dalam sebuah relationship. Saya sangat bersyukur pernah kuliah di Teknik Industri. Jadi, siapa yang bilang saya menyesal kuliah di TI?