Belajar Jadi Orang Tua

Entah kebetulan atau tidak. Akhir-akhir ini saya sedang banyak bersinggungan dengan isu-isu anak.

Let me name them all. Kriuk! sedang mengeluarkan isu childhood. Hal ini memaksa saya untuk tahu lebih banyak tentang anak-anak. Mulai dari baca majalah ini itu tentang anak-anak, hingga berkoman-komen di blog berbau anak. Sudut pandang yang disampaikan juga beragam: anak jalanan, pembenci anak kecil, krisis lagu anak, game console, kamera mainan, wah banyak lagi deh.

Lalu saya pergi ke bioskop, film yang lagi santer diputar pun tak jauh dari isu ini: Laskar Pelangi. Jangan komen duluΒ  yaa soal yang ini. Saya belum sempat nonton soalnya, hehe. Lalu saya sampai di rumah, saya nonton sinetron ramadhan Para Pencari Tuhan di SCTV, eh si Sheila lagi ditampar sama mamanya. Di rumah, si adik juga lagi ingin diperhatikan lebih sebagai seorang anak. Sampai pacar saya, lagi demen-demennya main Nintendo Game Boy yang baru dibelinya dari hasil perburuan keras.

Di sini masalahnya. Semakin banyak saya baca dan tahu tentang anak-anak, rasanya semakin ngeri saya jadi orangtua. Polah tingkah anak jaman sekarang sangat tidak bisa ditebak. Saya tidak bisa membayangkan anak SD sudah terlibat kasus seksual, atau usia SMP sudah kena minuman keras. Moreover, kejadian-kejadian seperti tadi tidak jauh dari tempat dimana sekarang saya duduk dan menulis. Saya jadi ngeriiii sekali punya anak. Padahal saya selalu gemas dengan anak kecil. Kata papa, ada sebuah hadist, bahwa seorang anak itu bisa membawa dua kemungkinan keadaan pada orangtuanya: dia bisa menjadi berkah yang mengantarkan ke Surga, atau jadi bencana yang mampu menghancurkan orangtuanya.

Isu anak-anak biasanya tidak jauh akarnya dari tak harmonisnya hubungan dengan orangtua. Kalau begini saya jadi bingung memosisikan diri. Mau jadi anak-anak, udah kelewat tua. Jadi orang tua, not yet married, apalagi punya anak. Yaa, paling tidak saya sudah pernah merasakan bagaimana rasanya jadi anak-anak.

Saat sedang waras, semua orang bisa melihat, saat di posisi seorang anak, adalah sesuatu hal yang wajar kalau anak-anak sering berbuat kesalahan. Siapa yang tak pernah ngedumel saat sedang diomeli mama waktu kecil dulu. Namun beranjak dewasa, kita jadi bisa melihat kalau diomeli adalah bentuk sayang orangtua. Tujuannya agar kita mengerti kalau itu salah, lalu kapok mengulangi. Hanya saja kita sering tak suka caranya. Maka dari kecil, saya sudah pintar membatin, “Nanti, kalau gue jadi orangtua, gue nggak mau pakai cara ini. Karena gue tahu rasanya nggak enak. Gue nggak mau anak gue ngerasain kaya gini.”

Saya sering melihat ketidakadilan di posisi seorang anak, khususnya di Indonesia. Silahkan lho kalau ada yang mau protes, tapi saya masih melihat banyak orang tua yang gila hormat. Mereka merasa tinggi dan tak pernah mau disalahkan. Yaa, mirip iklan rokok yang ada di televisi itulah. Jika seorang anak ingin mengutarakan pendapat, maka kacamata orangtua melihat sebagai sikap pembantahan dan durhaka. Jika anak salah, diperingati habis-habisan, pinta maaf pun dititah. Tapi giliran orangtua yang salah, seperti angin lalu saja, sepoi-sepoi lewat. Halo? Bukankah seorang anak juga pantas dimintai maafnya. Budaya ini, sadar nggak sadar terpelihara di Indonesia. Nggak usah jauh-jauh, lihat di tatar pendidikan saja. Pernah dengar, undang-undang ospek? Itu lhoo, yang bunyinya, (pasal 1) Senior selalu benar. Dan pasal 2-nya, jika senior salah, maka kembali ke pasal 1.

Berapa banyak orangtua di Indonesia yang sadar, saat begitu bayi yang mereka buat brojol dari perut, maka baru brojol juga tahta mereka sebagai orangtua. They have no experience being parents also, just like the baby has no experience being a child. Tahta orangtua yang sekonyong-konyong akan kita dapatkan nanti, tidak sepaket dengan kemampuan jadi orangtua. We need processes. Kita harus belajar. Si bayi brojol tadi, tentu akan dapat ilmu gimana jadi bayi yang appropriate. Belajar ngangkat kepala, merangkak, lari, sampe belajar ngitung integral, semua ada yang mengajarkan: orangtua, yang lebih tua. Orangtua? semoga nggak berhenti belajar sebatas ganti popok dan mengajarkan ilmu naik sepeda. Usia orangtua memang bukan lagi usia belajar, tapi itu bukan alasan untuk tetap memberikan the best performance parents. Di mata saya, orangtua yang gemilang adalah yang mampu bersikap open mind akan perubahan zaman. memberitahu tapi tidak menggurui. Mengobrol, bukan menugaskan. Showing, not telling.

Saat saya menulis ini, saya dalam keadaan berpengalaman sebagai seorang anak, belum berpengalaman sebagai seorang parent. I do have my own expectations when i become one. Semoga bisa jadi orang tua yang gemilang suatu hari nanti!

Anyway, terimakasih untuk semua orangtua di Indonesia yang telah berusaha keras mendidik anak-anak mereka.:)


8 Comments on “Belajar Jadi Orang Tua”

  1. rockerbad says:

    mungkin yang salah, kalau banyak orang tua mikir bgini (kaya lo juga mungkin mikir gitu *mudah2an sih lo salah tulis*) :

    “… Usia orangtua memang bukan lagi usia belajar, tapi itu …”

    Padahal kan hidup itu untuk blajar.. slama kita masi hidup ya jangan berhenti untuk terus dan terus belajar πŸ™‚

  2. nadya fadila says:

    gw juga ngeri ‘ka, ngebayangin suatu saat jadi orang tua, though at times I can crystal clear imagine myself jadi emak2..
    hiyahahahaa…=ppp

    yahhh…kaya’ yang lo bilang,
    Semoga bisa jadi orang tua yang gemilang suatu hari nanti!

    AMIN. πŸ˜‰

  3. pitekpitek says:

    Tenang, tenang Ka. Ada apa ini? Hehehe

    Every single thing goes by the right time and place. Ada masanya kita jadi objek dan subjek πŸ™‚

  4. Quch2 says:

    Iyaaaa…
    Sebagai orang tua pun nanti kita harus belajaaaar…

  5. ikazain says:

    @Ebhe:
    Yep, sepakat. Itulah pesen yang sebenarnya ingin gua sampaikan, b. Nggak ada alasan buat tiap orang tua bilang kalo umur mereka bukan lagi umur belajar, because life is a lifetime learning.

  6. ikazain says:

    @Nadya:
    Iya Nad, semoga ntar kalo gua jadi emak-emak bisa tetep up to date, hahaha. Btw, selamat ya bu, Sarjana Farmasi uy!

    @pitekpitek:
    Halo, salam kenal. Yep, itu pasti. Ada saatnya gua bakal jadi emak-emak. Dan pada saat itu semoga gua tetep waras untuk tetep mau belajar buat jadi emak yang gemilang. haha.

    @Quch:
    πŸ™‚ iya, Quch. Btw, mana Janhagel? πŸ˜›

  7. ikazain says:

    Btw, MET LEBARAN yaaa semuanya!
    maafin aye kalo ade sale-sale kate, oke-oke.
    πŸ™‚

  8. erwin says:

    asik juga nih blog na..
    ta kasih link ya d blog ku..
    salam kenal..
    erwin..


Leave a comment